Saya berdampingan Herdimas Anggara saat transisi Pengajar Muda |
Ini adalah
tulisan rekan saya yang bernama Herdimas Anggara, Pengajar Muda 6 Indonesia Mengajar,
kebetulan saya meneruskan perjuangannya di dusun Baku, Kecamatan Lambu, Kabupaten
Bima, Nusa Tenggara Barat. Ini seakan mengumpulkan apa yang selama ini
bertaburan di pikiran dan hati saya, tidak sama persis memang tetapi menurut
saya tulisan ini sangat komprehensif, dan tidak ingin tulisan ini hilang maka saya
mencoba untuk memposting tulisan itu disini.
Mungkin tulisan
ini juga bisa menjadi salah satu pertimbangan tentang kenapa perlu mencoba
untuk bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar? Semoga bermanfaat.
Mungkin, Menjadi Pengajar Muda Merupakan Pilihan Tepat
Ketika
pertama kali mendengar Indonesia Mengajar, awalnya saya skeptis, apakah
mengirimkan sarjana-sarjana muda ke pelosok sebagai bentuk peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia yang kulturnya sangat beragam merupakan cara yang
tepat? Namun, setelah saya telaah ulang, saya pikir Indonesia Mengajar memang
tidak murni bertujuan untuk mengatasi seluruh masalah pendidikan yang ada di
Indonesia. Apabila melihat gerakan ini sebagai bentuk kampanye publik untuk
meningkatkan kepekaan masyarakat Indonesia tentang pentingnya pendidikan, saya
rasa ini adalah cara yang tepat dan efisien. Perlahan, mereka menyadarkan bahwa
masalah pendidikan adalah masalah bersama, terlepas dari berbagai latar
belakang profesi.
Mungkin
memang benar, bahwa Indonesia Mengajar lebih bermanfaat bagi pengajar mudanya
dibandingkan murid-murid yang pengajar muda ajar. Satu tahun merupakan waktu
yang singkat untuk melakukan perubahan yang drastis di lingkungan yang pengajar
muda tempati. Ketika pengajar muda yang menjadi penerus tiba di tempat, mereka
harus mengobservasi terlebih dahulu tentang selak-beluk penempatan. Mereka juga
harus mempelajari bagaimana gaya hidup penduduk setempat layaknya sebagai
sebuah kajian antropologis. Setelah sudah mulai merasa nyaman dengan segala
bentuk improvisasi yang mereka lakukan, barulah mereka evaluasi aktivitas
seperti apa yang cocok untuk diimplementasikan oleh penduduk setempat. Banyak
sekali hal yang harus dipikirkan dan diprioritaskan secara mendalam, sehingga
terkadang waktu bersama murid-murid yang telah direncanakan tidak sepenuhnya
bisa pengajar muda alokasikan untuk setahun penuh.
Namun,
setelah direfleksikan dalam-dalam, saya merasa mungkin tugas utama pengajar
muda adalah meluangkan waktu dan meminjamkan telinga untuk mendengarkan
cerita-cerita dari aktor-aktor lokal yang sudah bertahun-tahun berjuang di
sana. Guru yang selalu hadir di kelas demi murid-muridnya, kepala sekolah yang
rela menempuh jalanan terjal demi mengantarkan murid-muridnya untuk lomba,
kepala dinas yang berusaha memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh pendahulu,
dan masih banyak lagi. Cerita-cerita inilah yang pengajar muda angkat untuk
meyakinkan sekaligus menemani aktor-aktor lokal tersebut bahwa mereka tidak
sendirian. Mungkin, definisi dari ‘pengajar muda’ bukan untuk dicerna secara
harfiah, namun peran tersebut harus dijalani agar bisa mengetahui apa makna
dari ‘pengajar muda’ itu sendiri.
Selain itu,
gerakan ini juga bisa dipandang sebagai wadah katalis pendewasaan. Teman-teman
yang telah terjun ke dalam gerakan ini tidak lagi serta-merta memilih jalan hidup
yang terbentuk karena konstruksi sosial. Hanya segelintir (atau mungkin tidak
ada) yang mau mengorbankan independensi dirinya demi kenyamanan material atau
gengsi pekerjaan semata. Kalaupun ada, saya yakin mereka pasti punya alasan
yang baik, entah karena ingin membantu biaya adiknya untuk sekolah/kuliah atau
karena mereka adalah tulang punggung keluarganya. Mereka hanya ingin,
setidaknya aktivitas sekecil apapun yang mereka lakukan akan memberikan dampak
yang positif kepada orang-orang di sekelilingnya.
Tidak sedikit
orang yang merasa gerakan ini kurang tepat guna, entah mungkin merasa
pendekatannya kurang tepat atau mungkin merasa gerakan ini adalah gerbang
pemenuhan ego pribadi bagi pengajar mudanya. Secara pribadi, saya juga kurang
setuju dengan apapun yang berusaha menjual cerita klise berbalut heroisme
belaka, karena menurut saya cerita-cerita tersebut membuat penulis terkesan
kurang tulus akan perbuatannya dan hanya dikhususkan untuk mengangkat martabat
si penulis. Tapi, satu hal yang luput dari pengamatan awal saya adalah
ketulusan orang-orang yang bekerja di belakang layar dalam gerakan ini. Betapa
berjuangnya mereka untuk selalu berusaha mengembangkan dan meningkatkan
kualitas gerakan ini, karena mereka sadar bahwa gerakan ini juga memiliki kekurangan.
Setiap kritik yang datang mereka proses matang-matang—baik dari internal maupun
eksternal keluarga besar Indonesia Mengajar—yang nantinya mereka olah dengan
baik; karena mereka percaya, kritik adalah salah satu bentuk kepedulian. Hal
kecil seperti inilah yang berpengaruh kepada pengajar mudanya. Sejak menyadari
akan hal ini, saya tahu saya berada di lingkungan yang tepat. Lingkungan di
mana satu sama lain saling menyadarkan tanpa ada tendensi untuk menjatuhkan.
Lingkungan di mana setiap individu berusaha memperbaiki dirinya melalui caranya
masing-masing tanpa takut dihakimi.
Saya mungkin
tidak terlalu paham dengan kondisi pendidikan di Indonesia secara keseluruhan,
tapi gerakan ini menjembatani saya untuk mendapatkan perspektif-perspektif baru
tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Sebelumnya saya tidak terlalu tahu
bagaimana merepotkannya Ujian Nasional, sebelumnya saya tidak terlalu tahu
bagaimana sulitnya meyakinkan golongan ekonomi lemah tentang pentingnya
pendidikan, sebelumnya saya tidak terlalu tahu bagaimana mengakarnya korupsi
yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Masalah-masalah seperti inilah
yang nantinya terinternalisasi dalam diri masing-masing pengajar muda.
Setidaknya, dengan bergabung dengan menjadi pengajar muda, tindakan-tindakan
atau karya-karya yang akan mereka buat nantinya akan bersingunggan dengan
pendidikan baik langsung maupun tidak langsung. Karena seperti yang telah
dituliskan di awal, masalah pendidikan adalah masalah bersama.
Di saat
mayoritas media sudah dipenuhi dengan sinisme sehingga membuat masyarakat
antipati terhadap masa depan negara ini, bukankah gerakan seperti ini
setidaknya memberikan secercah harapan? Saya tahu, sombong rasanya kalau
mengatakan Indonesia Mengajar sebagai sumber segala inisiatif yang berkaitan
dengan pendidikan, karena saya yakin, sebelum Indonesia Mengajar pun banyak
orang-orang yang berjuang demi pendidikan namun tidak tersorot sama sekali oleh
media. Tapi, saya harap naungan yang telah dibantu dan didengungkan oleh
Indonesia Mengajar didengar oleh lebih banyak lagi orang baik di negeri ini.
Saya sadar di
tulisan ini terdapat banyak sekali kata 'mungkin', namun inilah yang saya
pelajari semenjak mengikuti gerakan ini. Interpretasi saya terhadap kata
‘mungkin’ adalah keraguan berlapis kepedulian, karena saya tidak tahu pasti
sudut pandang seperti apa yang dimiliki oleh orang-orang di sekeliling saya.
Dengan membubuhkan kata ‘mungkin’, setidaknya pembaca jadi tahu bahwa masih ada
berbagai alternatif sudut pandang lain. Lagipula, menilai suatu
tindakan/pernyataan sebagai 100% benar/moral atau 100% salah/amoral bukankah
malah menjadi sumber dari masalah itu sendiri?
Apabila anda
ingin menjadi menjadi pengajar muda, mungkin bisa diawali dengan merefleksikan
pertanyaan-pertanyaan berikut: Untuk setahun ke depan, apakah anda siap
menghadapi dilema moral secara beruntun? Apakah anda mau mengompromikan
idealisme yang selama ini anda pegang teguh? Apakah anda mau turut andil dengan
segala ketidakpastian? Jika jawabannya ya, mungkin menjadi pengajar muda adalah
pilihan yang tepat.
---
Kalau ada yang salah tulis atau
salah interpretasi, saya minta maaf ya. Salam.
---
Regards,
Herdimas Anggara
Herdimas Anggara