Jumat, 30 Agustus 2013

ANGIN ITU BERTIUP KE WAY KANAN

Siang itu begitu terik, lebih dari terik-terik yang biasa dirasakan kulit ini. Disaat yang sama, diiringi dengan keramahan dan kesantunan yang menjadi karakter kuat masyarakat Timur, disepanjang mata terbuka tertangkaplah cahaya di mata pesona belasan rumah tua yang berdiri sejak sebuah adat tinggal lama di daerah itu, sebuah adat yang juga menjadi salah satu dari dua penopang awal berdiri dan tumbuhnya provinsi ini. Beberapa rumah Tua berdiri sejak 1820an, dengan kayu yang kuat menopang selama ratusan tahun, beberapa rumah tersebut berdiri kokoh seakan memberi isyarat tentang kekokohan sebuah konstruksi di tahun-tahun itu. Ketika memasuki kawasan itu akan terlihat belasan rumah tua tingkat dua yang 200an tahun yang lalu ditinggali oleh masyarakat adat pepadun. Rumah-rumah tersebut awalnya terbuat dari bahan alam, tiang, pasak, bahkan penyambung antar kayunya menggunakan kayu, setelah dilakukan renovasi akhirnya barulah menggunakan paku. Kampung Gedung Bathin yang terletak di Kabupaten Way Kanan adalah salah satu pesona yang menjadi saksi hidup bahwa adat pepadun pernah berdiri dan berkembang di Provinsi Lampung khususnya di Kabupaten Way Kanan. Untuk mencapai tempat tersebut, saya dan beberapa rekan menempuh sekitar 19 jam dari Bandung. Diawali dengan naik bus dari terminal leuwi panjang ke Pelabuhan Merak yang memakan waktu berkisar 6 jam. Dilanjutkan dengan penyebrangan ke Pulau Sumatera menggunakan kapal feri ke Pelabuhan Bakauheni yang memakan waktu berkisar 3jam. Selanjutnya perjalanan ditempuh dengan sebuah bus selama 3,5jam ke terminal Rajabasa yang terletak di Kota Bandarlampung, sebuah terminal yang menjadi salah satu jantung ekonomi masyarakat Lampung karena letaknya di pusat provinsi dan menghubungkan begitu banyak transportasi baik di dalam Lampung atau keluar Lampung. Setelah itu, perjalanan ditembuh dengan bus ke Gunung Katun yang memakan waktu selama sekitar 5,5jam. Ketika di Gunung Katun, untuk menuju ke Kampung Gedung Bathin dapat menempuh dengan ojek sekitar 20 menit, sedangkan untuk menuju jantung Kabupaten Way Kanan dapat menggunakan angkutan umum atau ojek yang menempuh waktu berkisar 1jam.
Adat Lampung terdiri dari dua yaitu Saibatin dan Pepadun, Saibatin umumnya berada di pesisir pantai sedangkan Pepadun merupakan klan terbesar di Lampung yang terletak selain di pesisir pantai seperti Kotabumi, Tulang Bawang, Way Kanan, dll. Pepadun sendiri berasal dari makna berpadu yang menjadi simbol musyawarah dan tempat orang duduk bermusyawarah itu ada di bangku yang bernama kursi pepadun, maka jadilah adat pepadun. Hingga saat ini, kursi pepadun tersebut digunakan ketika prosesi naik pepadun atau naik tingkatan. Jika suku adat Bali memiliki kasta, beda halnya dengan adat Pepadun, adat ini memiliki lima tingkatan, yang paling tinggi adalah penyeimbang marga yang duduk sebagai raja di suatu kebuaian, kedua adalah penyeimbang tiyuh/pepadun yang biasanya juga menjadi penglaku atau pengacara untuk kegiatan adat, ketiga penyeimbang suku, keempat penyeimbang saka, dan yang paling rendah adalah penyeimbang layar. Tetapi karena peran yang dimiliki penyeimbang di masing-masing tingkatannya saat ini sudah berbeda dengan dahulu, maka saat ini hanya berlaku tiga tingkatan. Tingkatan yang dimaksud disini memang sangat berbeda dengan kasta yang ada di, adat di lampung memungkinkan untuk naik tingkatan, misalkan ketika sebuah keluarga merupakan penyeimbang suku sangat memungkinkan untuk naik menjadi penyeimbang marga jika memang memenuhi syarat-syarat tertentu seperti harus memiliki minimal 5 penyeimbang pepadun, dan syarat-syarat yang lain. Upacara Adat Lampung (Begawi) merupakan salah satu aktifitas adat Pepadun yang dipegang hingga saat ini, ada dua macam begawi, yaitu begawi kecil dan begawi besar. Begawi kecil dilakukan oleh seseorang yang anaknya saat itu disunat yang disimbolkan bahwa anak itu dianggap sudah dewasa dan boleh untuk menikah, bahkan sisi ekstrimnya ketika seorang anak sudah sunat tapi belum melakukan begawi kecil ini maka anaknya dianggap belum dewasa secara adat walaupun umurnya sudah menginjak 20an dan tentu saja anak yang belum dewasa belum pantas untuk menikah . Sedangkan begawi besar adalah upacara adat yang dilakukan untuk naik pepadun atau bisa juga diistilahkan dengan pelantikan menjadi penyeimbang marga atau penyeimbang pepadun atau penyeimbang saka. Selain itu upacara begawi kecil biasanya dilakukan untuk pemberian gelar atau biasa diistilahkan adok, bahkan saat ini untuk melestarikan budaya Lampung diberikan gelar pada Bupati yang terpilih dan bupati tersebut juga akan menjadi penyeimbang marga. Sedangkan Upacara Begawi besar umumnya dilakukan ketika pernikahan anak pertamanya, yang selanjutnya ada prosesi pengangkatan penyeimbang marga dari suatu marga, biaya pengadaan acara begawi bisa menghabiskan dana berkisar 500 juta. Dan apabila suatu marga tidak melakukan upacara begawi untuk memberikan ke anaknya, maka status penyeimbang marga di keluarga tersebut akan hilang, baru apabila telah mengadakan upacara begawi status penyeimbang marga dapat dipangku kembali oleh keluarga tersebut. Ketika mencoba menelisik lebih jauh ke beberapa penyeimbang marga yang ada di Kecamatan Blambangan Umpu, ada beberapa peninggalan sejarah adat pepadun, salah satunya ada kulintang milik penyeimbang marga kampung lebuh kampung bujung yaitu Haji Edwin. Kulintang memiliki bentuk seperti gamelan di Jawa, tetapi memiliki bunyi yang berbeda. Kulintang ini dibuat sejak sekitar 200 tahun yang lalu dan hanya digunakan untuk acara Begawi saja, tetapi sekarang sudah tidak dipakai lagi karena sudah banyak lubang, hanya dilakukan pencucian tiap tahun pada 1 muharrom. Beberapa warga dan tooh adat menuturkan bahwa kulintang milik keluarga H. Edwin ini ketika digunakan untuk upacara begawi sering menyebarkan penyakit tertentu, sehingga apabila keluarga H. Edwin mengadakan begawi menggunakan kulintang ini tidak ada warga yang mau keluar. Selain kulintang juga ada meriam yang konon digunakan untuk melakukan perang melawan Belanda. Lampung sebagai salah satu tujuan utama daerah transmigran karena masyarakatnya terkenal wellcome dengan masyarakat pendatang memberi dampak bahwa adat Lampung memerlukan upaya pelestarian agar tetap lestari dan berkembang. Beberapa kebijakan pemerintah saat ini untuk melestarikan adat Lampung khususnya pepadun selain dengan mengangkat Bupati terpilih menjadi penyeimbang dan diberi gelar adalah setiap instansi pemerintah diwajibkan menggunakan bahasa Lampung dihari Jum’at jam8 sampai jam10. Itulah secercah pancaran pesona Pepadun di 2013, semoga nilai-nilai budaya yang baik tetap lestari dan tersebar sehingga kita bisa semakin memahami ke-Indonesia-an dan tidak hanya mengekor pada mainstream apalagi bila itu tidak baik dan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Panitia, bu Lurah, dan anak KKN
Perjalanan Wajib Angkatan Lembah Hujan
Perjalanan Wajib Angkatan Lembah Hujan with Eiger as Sponsor
Tulisan oleh Muhammad Catur Saifudin AM-024-LH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar